Besarkah peranannya dalam sekolah? Dan apa saja sih fungsi dan tugas
mereka disekolah? Itulah mungkin pertanyaan-pertanyaan yang mungkin
keluar bagi orang yang belum begitu kenal dengan tata usaha (TU)
sekolah. Sebagai seorang TU, saya ingin mencoba mengangkat
‘dinamika kehidupan tata usaha dari pantauan kesehariannya
(karena saya seorang TU).
Semua staf TU di sekolah-sekolah di Indonesia
tampaknya harus bisa bekerja di semua bidang yang ditugaskan oleh kepala
sekolah dan kepala TU. Mereka bertugas dalam berbagai bidang, baik
bekerja sama dengan kepala sekolah dan guru atau mereka bekerja sendiri.
Tugas mereka meliputi, membantu proses belajar mengajar, urusan
kesiswaan, kepegawaian, peralatan sekolah, urusan infrasturcture
sekolah, keuangan, bekerja di laboratorium, perpustakaan dan hubungan
masyarakat. Staff
TU tidak bekerja sesuai dengan disiplin ilmu mereka, Kenapa? Karena
banyak alasan untuk itu. Yang paling mendasar adalah, mereka hanya
sebagian besar-mungkin hampir semuanya-lulusan dari SLTA. Jarang diantara mereka mengikuti pendidikan
lanjutan dan disekolahkan oleh pemerintah untuk meng-up grade
professionalisme mereka. Pertanyaanya adalah, dengan faktor-faktor
pembatas seperti itu apakah kerja-kerja bidang administrasi di sekolah
kita dapat berjalan maksimal ?
Hal-hal
seperti in memang layak menjadi sorotan bagi pemerhati masalah
pendidikan dan ketenaga kerjaan. Sebab, selama ini yang disorot adalah
guru dan permasalahannya, juga kepala sekolah dan pelajar, tapi untuk TU
sekolah apakah kita semua sudah cukup memberikan perhatian atas apa
yang telah berhasil mereka kerjakan ataupun apa yang belum mereka
lakukan. Sungguh suatu hal yang bijak jika kita semua mau melihat sisi
dalam dari sekolah yang bukan hanya untuk guru dan kepala sekolah, tapi
juga TU yang selama ini berjuang ‘dibelakang meja’ untuk kepentingan
sekolah. Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan
terus dilakukan pemerintah. Menurut Fasli Jalal (2001:110) setidaknya
ada empat aspek penting yang tengah menjadi program pemerintah dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan, yaitu aspek kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana pendidikan, dan kepemimpinan satuan pendidikan.
Di
samping itu, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah
melalui mentri Pendidikan Nasional juga telah mencanangkan "gerakan
peningkatan mutu pendidikan" pada tanggal 2 Mei 2002. Gerakan ini
dimaksudkan untuk memacu percepatan peningkatan mutu pendidikan nasional
yang tengah terpuruk. Namun tanpa bermaksud mengurangi penghargaan
terhadap hasil yang telah diperoleh melalui upaya peningkatan mutu
pendidikan tersebut, agaknya patut diakui bahwa upaya peningkatan mutu
pendidikan kita belum membuahkan hasil yang terlalu menggembirakan.
Di
tingkat sekolah, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan ternyata
masih banyak menemukan kendala-kendala yang harus segera dicarikan jalan
keluarnya. Di antara kendala tersebut yang sepertinya luput dari
pantauan banyak orang ialah masalah mutu pegawai tata usaha (TU) sekolah
yang belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan
mutu pendidikan. Disadari atau tidak, mutu pegawai tata usaha sekolah
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mutu sebuah sekolah. Tapi
patut disayangkan, upaya peningkatan mutu dan kinerja pegawai tata usaha
sekolah kelihatannya kurang mendapat perhatian.
Memang
harus diakui bahwa kunci utama peningkatan mutu pendidikan di sebuah
sekolah adalah guru. Tanpa didukung oleh mutu guru yang baik upaya
peningkatan mutu pendidikan akan menjadi hampa, sekalipun didukung oleh
komponen lainnya yang memadai. Karenanya tentu sangat beralasan bila
pemerintah saat ini lebih memfokuskan peningkatan mutu guru sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Apalagi kondisi
saat ini sangat menuntut perlunya keseriusan untuk meningkatkan mutu
guru.
Namun
sekalipun prioritas utama sekarang ini tengah diberikan pada upaya
peningkatan mutu guru, pemerintah tentu juga harus menolehkan perhatian
pada upaya peningkatan mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah.
Sebagai sebuah sistem, sekolah juga terdiri dari beberapa komponen yang
saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang
lainnya. Apabila ada satu komponen saja yang "error", maka sistem
sekolah juga akan turut "error". Dalam realitasnya memang tidak jarang
sistem sebuah sekolah menjadi "bermasalah" karena faktor mutu dan
kinerja pegawai tata usaha yang rendah.
Walaupun
hubungan antara mutu pendidikan sebuah sekolah dengan mutu dan kinerja
pegawai tata usaha sekolah merupakan hubungan yang bersifat tidak
langsung, namun harus diakui (sekalipun tidak dilengkapi dengan data
hasil penelitian) bahwa mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah
turut mempengaruhi mutu pendidikan sebuah sekolah. Karenanya, upaya
peningkatan mutu pendidikan juga harus menyentuh peningkatan mutu dan
kinerja kepala dan pegawai tata usaha sekolah agar mereka bisa
memberikan kontribusi yang lebih besar bagi peningkatan mutu pendidikan
di sebuah sekolah.
Mutu dan Kinerja Pegawai TU Sekolah Rendah?
Tulisan
ini sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menghakimi apalagi menvonis mutu
dan kinerja pegawai tata usaha sekolah. Untuk menilai mutu dan kinerja
sebuah profesi yang dilakoni banyak orang ini tentu selayaknya
menggunakan data-data ilmiah yang lebih objektif. Jika penulis berasumsi
bahwa mutu dan kinerja pegawai tata usaha sekolah masih rendah, itu
hanyalah pendapat pribadi yang didasari oleh pengamatan penulis dari
beberapa contoh kasus yang ada di sekitar lingkungan penulis. Sekalipun
penulis berkeyakinan bahwa di sekolah lain nasibnya juga tidak akan
terlalu jauh berbeda dengan contoh kasus yang penulis amati.
Ada
beberapa indikator yang menunjukkan bahwa mutu dan kinerja pegawai tata
usaha sekolah masih rendah, yaitu : pertama, masih banyak pegawai tata
usaha sekolah yang tidak mempunyai kemampuan, kecakapan atau
keahlian yang memadai untuk mengerjakan tugas-tugas mereka (yang wajib
apalagi yang sunat) dengan performa yang baik dan memuaskan. Contoh
paling sederhana ialah masih sangat banyaknya pegawai tata usaha sekolah
(mungkin juga termasuk kepala tata usaha) yang belum bisa
mengoperasikan komputer dengan baik untuk urusan administrasi tata usaha
sekolah. Padahal hampir seluruh administrasi sekolah saat ini
menggunakan komputer. Selain itu, di bidang-bidang lain juga terlihat
masih banyak kesemrautan kerja tata usaha sekolah seperti pengarsipan
surat yang tidak tertata rapi, surat masuk dan keluar sering hilang,
data-data sekolah banyak yang tidak lengkap dan tidak ada, dan kalaupun
ada banyak yang tidak up to date.
Bila melirik pula ke perpustakaan yang juga menjadi bagian tugas dari tata usaha, "wajah" pustaka juga belum banyak mencerminkan sebuah perpustakaan yang telah mendapat sentuhan dari tangan-tangan pegawai yang profesional. Padahal ini semua sebenarnya barulah pekerjaan yang bersifat "melaksanakan". Dan tentu bisa dibayangkan bila melaksanakan saja kurang beres, apalagi "merencanakan". Jangankan disuruh membuat proposal maupun laporan kegiatan, sedangkan membuat konsep sehelai surat yang tidak ada contohnyapun terkadang tidak bisa. Padahal di setiap kegiatan sekolah (yang ada SK Panitia dan tentu juga ada honornya) selalu yang menjadi sekretaris adalah kepala tata usaha.
Bila melirik pula ke perpustakaan yang juga menjadi bagian tugas dari tata usaha, "wajah" pustaka juga belum banyak mencerminkan sebuah perpustakaan yang telah mendapat sentuhan dari tangan-tangan pegawai yang profesional. Padahal ini semua sebenarnya barulah pekerjaan yang bersifat "melaksanakan". Dan tentu bisa dibayangkan bila melaksanakan saja kurang beres, apalagi "merencanakan". Jangankan disuruh membuat proposal maupun laporan kegiatan, sedangkan membuat konsep sehelai surat yang tidak ada contohnyapun terkadang tidak bisa. Padahal di setiap kegiatan sekolah (yang ada SK Panitia dan tentu juga ada honornya) selalu yang menjadi sekretaris adalah kepala tata usaha.
Kedua,
masih rendahnya disiplin, loyalitas dan tanggung jawab pegawai tata
usaha sekolah dalam menjalankan tugas-tugas mereka sebagai pegawai tata
usaha sekolah. Ketaatan sebagian mereka barulah sekedar ketika ada
kepala sekolah. Bila kepala sekolah tidak ada atau keluar karena suatu
keperluan, maka para pegawaipun juga akan menghilang satu persatu. Dan
yang lebih ironisnya lagi ternyata ada pegawai tata usaha yang "berani"
datang kesekolah hanya beberapa hari sebelum dan sesudah tanggal baru,
sekedar untuk mengambil "sisa gaji'.
Ketiga, masih belum tercerminnya pelayanan prima yang diberikan kepada siswa, orang tua, dan masyarakat. Banyak orang tua, siswa ataupun warga masyarakat yang berurusan kurang dilayani dengan penuh keramahan, penuh perhatian, cepat, tepat, mudah dan tidak berbelit-belit. Terkadang kala ternyata untuk mengurus surat pindah maupun surat keterangan saja harus "batele-tele". Dan yang lebih parahnya lagi kadang-kadang harus pakai "tanda terimakasih" pula.
Keempat, masih belum nampaknya kecerdasan emosional, spritual, dan bahkan juga kecerdasan intelektual pegawai tata usaha sekolah dalam memecahkan berbagai permasalahan serta dalam berinteraksi di lingkungan sekolah. Masih banyak pegawai tata usaha yang justru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bergunjing ketimbang untuk menorehkan prestasi kerja yang lebih baik. Bahkan tidak jarang kebiasaan bergunjing ini menjadi "api" yang menyebabkan permusuhan di dalam komunitas lingkungan sekolah. Ini semua tentu semakin memperjelas betapa (sebagian besar/kecil?) pegawai tata usaha sekolah belum memperlihatkan mutu dan kinerja yang memuaskan.
Di berbagai sekolah ternyata masih banyak "jabatan" yang seharusnya dipegang oleh pegawai tata usaha tetapi justru harus dihandle oleh guru. Contoh kasus paling banyak ditemukan ialah masih banyaknya guru yang menjadi bendahara atau pengelola keuangan sekolah seperti menjadi bendahara gaji/rutin, bendahara BOS, dan bendahara komite sekolah. Padahal posisi tersebut seharusnya dipegang oleh pegawai TU sekolah
Lalu mengapa jabatan yang seharusnya diberikan kepada pegawai tata usaha sekolah ini diberikan kepada guru? Apakah guru yang terlalu "rakus" dengan jabatan yang ada di sebuah sekolah? Dalam konteks manajemen sekolah tentu semua tugas tambahan yang diberikan kepada guru maupun pegawai tata usaha sekolah merupakan kebijakan kepala sekolah yang telah dipertimbangkan secara matang. Bila kepala sekolah justru lebih mempercayai guru untuk memegang sebuah jabatan yang seharusnya dipegang oleh pegawai tata usaha sekolah, maka tentu akan muncul pertanyaan, ada apa dengan pegawai tata usaha sekolah?
Pegawai Tata Usaha Sekolah Masa Depan
Masa depan sebuah sekolah sebagian besar ditentukan oleh orang-orang yang ada di sebuah lingkungan sekolah. Untuk meraih masa depan sekolah yang lebih baik, seyogyanya setiap personalia sekolah saling bersinergi, bekerjasama dan sama-sama bekerja dengan penuh keikhlasan untuk mewujudkan masa depan sekolah yang lebih baik, lebih mencerahkan dan lebih mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penempatan pegawai tata usaha sekolah ke depan seharusnya benar-benar mempertimbangkan mutu, kemampuan, kecakapan, atau keahlian yang memadai untuk melaksanakan tugas mereka di bidangnya masing-masing. Diharapkan ke depan pegawai tata usaha sekolah benar-benar tenaga profesional di bidangnya, seperti profesional di bidang manajemen perpustakaan, profesional di bidang manajemen keuangan sekolah, profesional di bidang kearsipan, profesional di bidang teknologi informatika komputer. Dan penempatan tenaga profesional di lingkungan tata usaha sekolah ini seyogyanya mengacu pada prinsip the righ man on the righ job.
Ini berarti untuk menjadi pegawai TU sekolah yang profesional dan berkontribusi positif terhadap peningkatan mutu pendidikan tidak cukup lagi hanya dengan mengandalkan ijazah SLTA. Tanpa bermaksud mengurangi penghargaan terhadap segmen ini, tentunya sangat tidak adil menempatkan pegawai TU sekolah yang rata-rata Cuma berijazah SLTA sementara mereka dituntut harus serba bisa dalam segala persoalan "tetek bengek" tata usaha sekolah. Padahal tugas-tugas TU sekolah semakin hari semakin kompleks dan semakin membutuhkan orang-orang yang betul-betul trampil dan profesional.
Dengan adanya penempatan tenaga profesional untuk menjadi pegawai tata usaha sekolah, diharapkan setiap komponen yang ada di sekolah akan mampu mengoptimalkan kinerja mereka masing-masing. Peran "ganda" yang selama ini banyak dimainkan guru diharapkan akan segera berakhir. Bila guru tidak ada lagi yang overlape, maka tentu guru akan lebih bisa mengoptimalkan kemampuannya untuk memacu peningkatan mutu pendidikan. Sekalipun di sisi lain harus diminta kerelaan guru yang memainkan peran ganda tersebut untuk melepas sebagian "lobang piti masuak" mereka.
Di samping itu, dengan adanya tenaga profesional di lingkungan pegawai tata usaha sekolah diharapkan dapat semakin memacu peningkatan mutu manajamen sekolah. Apalagi dalam perspektif manajemen berbasis sekolah semakin menuntut tersedianya pegawai tata usaha sekolah yang benar-benar mampu berkontribusi positif dalam peningkatan mutu sekolah. Belajar dari pengalaman yang ada, ternyata cukup banyak sekolah yang dikelola dengan manajemen "tukang sate" yang berakibat terjadinya penumpukan pekerjaan sekaligus tanggung jawab pada seorang individu saja ( one man show ). Kesalahan ini tentu tidak bisa disebut murni kesalahan kepala sekolah semata, tetapi di dalamnya juga include faktor ketidakberdayaan kepala dan pegawai tata usaha sekolah untuk memainkan peran mereka masing-masing.
Selain memiliki kemampuan, keahlian atau kecakapan yang memadai, yang tidak kalah pentingnya ialah pegawai TU sekolah di masa depan harus memiliki visi dan komitmen yang kuat untuk turut memajukan dunia pendidikan. Sekolah di samping menjadi "lahan penghidupan" juga harus dipandang sebagai lahan untuk beramal. Sehingga setiap pekerjaan tidak harus selalu diukur dengan materi yang akan diterima. Seyogyanya prinsip hidup "berbuat dan memberikan yang terbaik" menjadi budaya setiap individu di lingkungan sekolah. Ini juga berarti pegawai TU sekolah juga harus memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial di samping kompetensi profesional. Semoga !
Standarisasi Tata Usaha Sekolah, sebuah urgensi....
Karakteristik fungsi TU Madrasah
Berdasarkan pengamatan penulis dari sejumlah madrasah di kabupaten Serang diperoleh gambaran kerja TU Madrasah mirip seperti yang diuraikan oleh Muhammad Yasin. Yaitu
Ketiga, masih belum tercerminnya pelayanan prima yang diberikan kepada siswa, orang tua, dan masyarakat. Banyak orang tua, siswa ataupun warga masyarakat yang berurusan kurang dilayani dengan penuh keramahan, penuh perhatian, cepat, tepat, mudah dan tidak berbelit-belit. Terkadang kala ternyata untuk mengurus surat pindah maupun surat keterangan saja harus "batele-tele". Dan yang lebih parahnya lagi kadang-kadang harus pakai "tanda terimakasih" pula.
Keempat, masih belum nampaknya kecerdasan emosional, spritual, dan bahkan juga kecerdasan intelektual pegawai tata usaha sekolah dalam memecahkan berbagai permasalahan serta dalam berinteraksi di lingkungan sekolah. Masih banyak pegawai tata usaha yang justru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bergunjing ketimbang untuk menorehkan prestasi kerja yang lebih baik. Bahkan tidak jarang kebiasaan bergunjing ini menjadi "api" yang menyebabkan permusuhan di dalam komunitas lingkungan sekolah. Ini semua tentu semakin memperjelas betapa (sebagian besar/kecil?) pegawai tata usaha sekolah belum memperlihatkan mutu dan kinerja yang memuaskan.
Di berbagai sekolah ternyata masih banyak "jabatan" yang seharusnya dipegang oleh pegawai tata usaha tetapi justru harus dihandle oleh guru. Contoh kasus paling banyak ditemukan ialah masih banyaknya guru yang menjadi bendahara atau pengelola keuangan sekolah seperti menjadi bendahara gaji/rutin, bendahara BOS, dan bendahara komite sekolah. Padahal posisi tersebut seharusnya dipegang oleh pegawai TU sekolah
Lalu mengapa jabatan yang seharusnya diberikan kepada pegawai tata usaha sekolah ini diberikan kepada guru? Apakah guru yang terlalu "rakus" dengan jabatan yang ada di sebuah sekolah? Dalam konteks manajemen sekolah tentu semua tugas tambahan yang diberikan kepada guru maupun pegawai tata usaha sekolah merupakan kebijakan kepala sekolah yang telah dipertimbangkan secara matang. Bila kepala sekolah justru lebih mempercayai guru untuk memegang sebuah jabatan yang seharusnya dipegang oleh pegawai tata usaha sekolah, maka tentu akan muncul pertanyaan, ada apa dengan pegawai tata usaha sekolah?
Pegawai Tata Usaha Sekolah Masa Depan
Masa depan sebuah sekolah sebagian besar ditentukan oleh orang-orang yang ada di sebuah lingkungan sekolah. Untuk meraih masa depan sekolah yang lebih baik, seyogyanya setiap personalia sekolah saling bersinergi, bekerjasama dan sama-sama bekerja dengan penuh keikhlasan untuk mewujudkan masa depan sekolah yang lebih baik, lebih mencerahkan dan lebih mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penempatan pegawai tata usaha sekolah ke depan seharusnya benar-benar mempertimbangkan mutu, kemampuan, kecakapan, atau keahlian yang memadai untuk melaksanakan tugas mereka di bidangnya masing-masing. Diharapkan ke depan pegawai tata usaha sekolah benar-benar tenaga profesional di bidangnya, seperti profesional di bidang manajemen perpustakaan, profesional di bidang manajemen keuangan sekolah, profesional di bidang kearsipan, profesional di bidang teknologi informatika komputer. Dan penempatan tenaga profesional di lingkungan tata usaha sekolah ini seyogyanya mengacu pada prinsip the righ man on the righ job.
Ini berarti untuk menjadi pegawai TU sekolah yang profesional dan berkontribusi positif terhadap peningkatan mutu pendidikan tidak cukup lagi hanya dengan mengandalkan ijazah SLTA. Tanpa bermaksud mengurangi penghargaan terhadap segmen ini, tentunya sangat tidak adil menempatkan pegawai TU sekolah yang rata-rata Cuma berijazah SLTA sementara mereka dituntut harus serba bisa dalam segala persoalan "tetek bengek" tata usaha sekolah. Padahal tugas-tugas TU sekolah semakin hari semakin kompleks dan semakin membutuhkan orang-orang yang betul-betul trampil dan profesional.
Dengan adanya penempatan tenaga profesional untuk menjadi pegawai tata usaha sekolah, diharapkan setiap komponen yang ada di sekolah akan mampu mengoptimalkan kinerja mereka masing-masing. Peran "ganda" yang selama ini banyak dimainkan guru diharapkan akan segera berakhir. Bila guru tidak ada lagi yang overlape, maka tentu guru akan lebih bisa mengoptimalkan kemampuannya untuk memacu peningkatan mutu pendidikan. Sekalipun di sisi lain harus diminta kerelaan guru yang memainkan peran ganda tersebut untuk melepas sebagian "lobang piti masuak" mereka.
Di samping itu, dengan adanya tenaga profesional di lingkungan pegawai tata usaha sekolah diharapkan dapat semakin memacu peningkatan mutu manajamen sekolah. Apalagi dalam perspektif manajemen berbasis sekolah semakin menuntut tersedianya pegawai tata usaha sekolah yang benar-benar mampu berkontribusi positif dalam peningkatan mutu sekolah. Belajar dari pengalaman yang ada, ternyata cukup banyak sekolah yang dikelola dengan manajemen "tukang sate" yang berakibat terjadinya penumpukan pekerjaan sekaligus tanggung jawab pada seorang individu saja ( one man show ). Kesalahan ini tentu tidak bisa disebut murni kesalahan kepala sekolah semata, tetapi di dalamnya juga include faktor ketidakberdayaan kepala dan pegawai tata usaha sekolah untuk memainkan peran mereka masing-masing.
Selain memiliki kemampuan, keahlian atau kecakapan yang memadai, yang tidak kalah pentingnya ialah pegawai TU sekolah di masa depan harus memiliki visi dan komitmen yang kuat untuk turut memajukan dunia pendidikan. Sekolah di samping menjadi "lahan penghidupan" juga harus dipandang sebagai lahan untuk beramal. Sehingga setiap pekerjaan tidak harus selalu diukur dengan materi yang akan diterima. Seyogyanya prinsip hidup "berbuat dan memberikan yang terbaik" menjadi budaya setiap individu di lingkungan sekolah. Ini juga berarti pegawai TU sekolah juga harus memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial di samping kompetensi profesional. Semoga !
Standarisasi Tata Usaha Sekolah, sebuah urgensi....
Karakteristik fungsi TU Madrasah
Berdasarkan pengamatan penulis dari sejumlah madrasah di kabupaten Serang diperoleh gambaran kerja TU Madrasah mirip seperti yang diuraikan oleh Muhammad Yasin. Yaitu
- Fenomena ketidak jelasan pembagian tugas dan tanggung jawab dari setiap staff TU. Istilah mereka : pekerjaan kolektif. Ada kelebihan dan kekurangan tentu saja. Kelebihannya adalah setiap staf kemungkinan memiliki semua keahlian Tata Usaha Sekolah. Kelemahannya adalah masalah tanggung jawab siapa kalau pekerjaan tidak selesai atau bermasalah.
- Ketidak jelasan perbedaan pemahaman TUPOKSI antara guru dan Tata Usaha, sebagai awal pemicu banyak kekisruhan konflik guru dan Tata Usaha di sekolah. Sampai saat ini masih ada sekolah/madrasah yang menganggap tugas guru hanya mengajar, sementara selain mengajar adalah tugas Tata Usaha. fenomena tata Usaha sebagai pelayan Guru, juga memperkuat peluang konflik guru - TU. Apalagi dengan masih terbatasnya kemampuan sejumlah guru dalam menggunakan komputer menyebabkan guru "menyerahkan" semua tugas yang sebetulnya masih TUPOKSI nya kepada TU.
- Perbedaan Jam kerja Guru - Tata Usaha Pada sekolah menengah, terjadi kecemburuan, terutama pada level PNS guru dan PNS TU. Jam kerja guru yang relatif rendah dibanding TU, menjadi pemacu menurunnya motivasi kerja TU. Bayangkan, TU PNS bekerja 6 hari kerja, Guru PNS bisa 3 hari kerja. Maka fenomena TU ngobrol bisa ditemui. Hal ini belum termasuk perbincangan mengenai perbedaan jumlah jenis insentif guru yang jauh lebih banyak dibanding jumlah jenis insentif Tata Usaha
Jalan Keluar Penyelesaian!!
Memperbaiki kualitas ketrampilan kerja Tata Usaha, seperti yang diuraikan oleh Muhammad yasin sangat baik sebagai penyelesaiannya. Namun sebetulnya yang efektif adalah bagaimana pemerintah membuat semacam buku petunjuk besar petunjuk pelaksanaan kerja Tata Usaha. Dalam buku ini mencakup semua bagian pekerjaan dalam Tata Usaha, termasuk contoh persuratan, organisasi. Dengan cara ini maka staf Tata Usaha dapat bekerja sambil belajar. maka solusi ini dapat menjadi solusi yang efektif dan efisien. Dan tentunya semua itu dapat berjalan dengan baik jika pihak pemimpin sekolah, dalam hal ini kepala Tata Usaha dan Kepala Sekolah mampu bekerja sama dan berfungsi sesuai dengan tanggung jawabnya, termasuk menyelesaikan permasalahan konflik yang mungkin terjadi. Dan yang terpenting adalah tidak perlu ada saling menyalahkan tugas dan pekerjaan antara Guru dan Tata Usaha, karena seberapa besar kesalahannya harus disikapi dengan arif, mengingat antara Tata Usaha dan Guru adalah sama - sama berjuang untuk memajukan pendidikan sekolah. (Walupun perhatian pemerintah saat ini lebih berfokus kepada Guru)
Memperbaiki kualitas ketrampilan kerja Tata Usaha, seperti yang diuraikan oleh Muhammad yasin sangat baik sebagai penyelesaiannya. Namun sebetulnya yang efektif adalah bagaimana pemerintah membuat semacam buku petunjuk besar petunjuk pelaksanaan kerja Tata Usaha. Dalam buku ini mencakup semua bagian pekerjaan dalam Tata Usaha, termasuk contoh persuratan, organisasi. Dengan cara ini maka staf Tata Usaha dapat bekerja sambil belajar. maka solusi ini dapat menjadi solusi yang efektif dan efisien. Dan tentunya semua itu dapat berjalan dengan baik jika pihak pemimpin sekolah, dalam hal ini kepala Tata Usaha dan Kepala Sekolah mampu bekerja sama dan berfungsi sesuai dengan tanggung jawabnya, termasuk menyelesaikan permasalahan konflik yang mungkin terjadi. Dan yang terpenting adalah tidak perlu ada saling menyalahkan tugas dan pekerjaan antara Guru dan Tata Usaha, karena seberapa besar kesalahannya harus disikapi dengan arif, mengingat antara Tata Usaha dan Guru adalah sama - sama berjuang untuk memajukan pendidikan sekolah. (Walupun perhatian pemerintah saat ini lebih berfokus kepada Guru)
Penulis : BB | Badrudin Banten
0 komentar:
Posting Komentar